Jumat, 08 Februari 2008

DEMOKRATISASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA OTONOMI DAERAH:

DEMOKRATISASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DI ERA OTONOMI DAERAH:

TINJAUAN DARI ASPEK PENYULUHAN PERTANIAN[1]

Oleh : Subejo, SP, M.Sc.[2]

Pendahuluan

Bebarapa isu utama yang dihadapi pembangunan pertanian di Indonesia adalah demokratisasi dan desentralisasi. Searah dengan semangat desentralisasi, kebijakan nasional yang tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No.32 Tahun 2004 telah memberikan ruang gerak desentralisasi melalui kebijakan ”otonomi daerah”. Desentralisasi dipandang penting karena membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam memantau kebijakan pemerintah. Menurut Akhmadi (2004), sesuai dengan otonomi daerah, kewenangan di bidang penyuluhan pertanian sejak tahun 2001 dilimpahkan kepada pemerintah daerah agar daerah mampu meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, otoritas penyuluhan pertanian juga telah didelegasikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten. Meskipun masih perlu didukung dengan data-data empiris, kecenderungan umum menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah daerah beberapa tahun terakhir kurang pro terhadap kegiatan terkait penyuluhan pertanian sehingga kinerja penyuluhan pertanian menurun..

Kinerja dan aktivitas penyuluhan pertanian yang menurun antara lain disebabkan oleh: perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dengan daerah dan antara eksekutif dengan legislatif terhadap arti penting dan peran penyuluhan pertanian, keterbatasan anggaran untuk penyuluhan pertanian dari pemerintah daerah, ketersediaan materi informasi pertanian terbatas, penurunan kapasitas dan kemampuan managerial dari penyuluh serta penyuluh pertanian kurang aktif untuk mengunjungi petani dan kelompoknya, kunjungan lebih banyak dikaitkan dengan proyek.

Demokratisasi Pembangunan Pertanian

Terkait dengan pembangunan pertanian, demokratisaasi pembangunan dapat dimaknai sebagai suatu proses yang melibatkan anggota masyarakat/petani dengan akses menentukan pilihan dan hak-hak yang setara untuk bersama-sama dengan staf pemerintah/NGO/perguruan tinggi/lembaga donor internasional melakukan tahapan-tahapan pembangunan mulai dari identifikasi potensi, perencanaan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi keberhasilan program pembangunan. Dalam proses yang demokratis tersebut, partisipasi masyarakat dalam program pembangunan pertanian menjadi kata kunci yang sangat penting.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian dikatakan berhasil jika telah melibatkan masyakarat dalam: (1) proses penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, (2) keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan pembangunan, dan (3) keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan.

Ruang gerak partisipasi masyarakat yang cukup dalam pembangunan pertanian akan memposisikan masyarakat sebagai salah satu penentu dalam perencanaan, pelaksanaan dan sebagai penerima manfaat program pembangunan. Pada beberapa dekade terakhir, di berbagai negara termasuk di Indonesia mulai menerapkan model paticipatory rural appraisal (PRA) dalam implementasi perencanaan pembangunan pertanian (termasuk penyuluhan). Paradigma pembangunan yang partisipatif ini nampaknya memiliki perbedaan ideologi jika dibandingkan dengan paradigma yang sebelumnya sangat populer yaitu rekayasa sosial (social engineering[3]).

Penyuluhan Pertanian di Era Desentralisasi

Seiring perubahan global dan isu lingkungan strategis, layanan penyuluhan pertanian juga mengalami perubahan-perubahan. Subejo (2002) mengindikasikan bahwa transformasi penyuluhan pertanian sedang berlangsung di berbagai negara. Perubahan terjadi pada organisasi, sistem penugasan, dan praktek sistem penyuluhan pertanian dan pedesaan.Tantangan untuk mengintrodusir suatu sistem institusi baru yang lebih sesuai menjadi pertimbangan dalam mereformasi sistem penyuluhan pertanian. Jika hal tersebut dikesampingkan maka sistem pelayanan penyuluhan akan menjadi suatu yang usang dan ketinggalan.

Salah satu isu utama dalam penyuluhan adalah desentralisasi. Searah dengan semangat desentralisasi, kebijakan nasional telah memberikan ruang gerak desentralisasi melalui kebijakan ”otonomi daerah”. Desentralisasi dipandang penting karena membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat sipil dalam memantau kebijakan pemerintah. Sebagai implementasi otonomi daerah, Akhmadi (2004) menyatakan bahwa kewenangan di bidang penyuluhan pertanian sejak tahun 2001 dilimpahkan kepada pemerintah daerah agar daerah mampu meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian.

Melalui otnomi daerah diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian. Terkait dengan hal tersebut, Saragih (2005) berpendapat bahwa dengan adanya otonomi daerah, telah diberikan kebebasan kepada regional agricultural services untuk mengambil inisiatif dalam mendesain kebijakan spesifik lokal, sementara itu pemerintah pusat melalui Menteri Pertanian bertanggungjawab hanya pada penyusunan dan manajemen strategi, kebijakan nasional dan standar-standar. Dengan dukungan anggaran yang besar, pemerintah lokal memiliki lebih banyak sumber daya serta kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kebijakan spesifik lokal dan teknologi lokal melalui kajian/penelitian di lembaga penelitian lokalnya. Dengan otonomi daerah ini, tanggung jawab pembangunan pertanian dalam kendali kepala daerah bukan lagi pegawai/dinas pertanian.

Kebijakan otonomi daerah terkait penyuluhan pertanian memberikan dampak positif dan negatif. Mawardi (2004) mengidentifikasi beberapa kendala penyuluhan pertanian era otonomai daerah: (1) adanya perbedaan pandangan birokrasi dan DPRD terhadap peran penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian, (2) kecilnya alokasi anggaran pemerintah daerah untuk kegiatan penyuluhan pertanian, (3) ketersediaan dan dukungan informasi pertanian sangat terbatas, (4) makin merosotnya kemampuan manajerial penyuluh. Penelitian World Bank di beberapa pedesaan Indonesia (2000) melaporkan persepsi petani dengan kepemilikan kecil merasa telah ditinggalkan oleh pihak yang berkompeten dalam pertanian. Petani merasa bahwa petugas pertanian tidak lagi membantunya dalam menemukan penyelesaian masalah-masalah yang muncul secara praktis sebagaimana dulu dilakukan ketika revolusi hijau.

Memaknai ”Privatisasi dan Demokratisasi” Penyuluhan Pertanian[4]

Meskipun di berbagai negara penyuluhan pertanian telah dianggap memberikan kesuksesan dalam pembangunan pertanian, banyak pihak mengkritisi kinerja public extension service. Institusi tersebut dikritisi karena kurang efisien, kurang efektif dan pentargetan lemah. World Bank (2002) melalui evaluasi pada proyek-proyek penyuluhan mengindikasikan bahwa penyuluhan belum memenuhi orientasi dan kepentingan client, kapasitas sumberdaya manusia dan komitmen pemerintah lemah. Beberapa masalah yang dihadapi kadangkala berupa external factos seperti lemahnya komitmen politik dan ketergantungan pada coplementary policies. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan sebagai bagian dari reformasi institusi untuk meningkatkan pelayanan penyuluhan adalah privatisasi penyuluhan (privatization of extension).

Argumentasi tentang perlunya privatisasi penyuluhan menurut Rivera (1997) yaitu: (1) pelayanan dan penyampaian lebih efisien, (2) menurunkan anggaran belanja pemerintah, dan (3) pelayanan dengan kualitas tinggi. Kidd et.al., (2000) menyatakan umumnya sektor private terbebas dari sistem administratif/birokrasi dan hambatan kepentingan politik. Hal ini mengimplikasikan suatu kemampuan yang cukup pada sektor private untuk mengalokasikan sumberdaya dengan lebih efisien.

Namun demikian, privatisasi juga memiliki potensi keterbatasan dan kelemahan yaitu akses terhadap sumber penyuluhan menjadi tidak sama karena keberagaman agency dan kesulitan berkoordinasi dengan kelompok luar dan departemen pemerintah. Agen penyuluhan pertanian swasta akan lebih berorientasi pada komersialisasi dan kurang bertanggungjawab terhadap arah kebijakan yang dibuat pemerintah.

Menurut Rivera (1997) selama ini telah terjadi misleading dalam pemahaman “privatization of agricultural extension’. Pada sebagian besar kasus, pemerintah tidak sepenuhnya mem-privatisasi-kan pelayanan penyuluhan pertaniannya. Dalam pengertian aslinya, privatization merupakan suatu transfer penuh dalam hal kepemilikan (umumnya dengan cara penjualan) dari pemerintah kepada lembaga/pihak swasta, dimana pihak tersebut selanjutnya akan menanggung seluruh biaya dan menerima seluruh keuntungan. Di dalam kasus penyuluhan, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah strategis antara lain: (1) mengenalkan komersialisasi pelayanan dengan tetap menguasai lembaga penyuluhannya, (2) memindahkan pelayanan penyuluhan pada private dengan tetap memberikan basis pendanaan, dan (3) mencari alternatif biaya untuk membayar layanan penyuluhan komersial.

Dalam menentukan jenis penyuluhan yang mana yang akan tetap di tangani oleh agen pemerintah dan mana yang akan dilakukan oleh sektor private, Rivera (1997) memberikan beberapa rambu-rambu antara lain ketika penyuluhan disampaikan secara private, ini menggambarkan suatu keputusan yang komersial, sedangkan ketika penyuluhan disampaikan secara public, ini merupakan suatu keputusan politik atau birokrasi. Dalam menentukan apakah perlu dilakukan privatisasi atau tidak, ini penting diidentifikasi dan ditetapkan apakah program itu didesain untuk membantu enterprise yang komersial atau diperuntukkan petani skala kecil.

Pembagian peran serta peluang kontribusi dari berbagai pihak dalam penyuluhan sebenarnya juga merupakan wujud demokratisasi penyuluhan pertanian. Hal ini mengindikasikan tidak terjadi monopoli baik dalam hal kebijakan, pedanaan serta layanan penyuluhan pertanian. Stakeholders terkait memiliki peluang dan ruang gerak partisipasi yang cukup dalam proses penyuluhan pertanian.

Berkaitan dengan isu demokratisasi dan privatisasi penyuluhan pertanian, bagaimanaupun juga peran agen/penyuluh pemerintah tetap penting. Kidd et.al (2000) menyatakan bahwa capacity building pada penyuluh pertanian baik spesialis maupun penyuluh lapangan akan tetap menjadi investasi yang penting bagi sektor public, secara khusus di dalam masa transisi perpindahan menuju peran sektor private yang lebih efisien dan memiliki responsibilitas tinggi. Hal ini dapat mencakup skema untuk membantu pihak private agricultural advisors agar dapat establish atau mendayagunakan sebagian public resources. Perhimpunan advisor profesional dapat memberikan suatu kontribusi untuk quality control bagi sistem penyuluhan dalam pelaksanaan kerangka sistem pengaturan.

Embrio privatisasi penyuluhan sudah mulai muncul sungguhpun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Berkembangnya sistem partnership pada layanan technical service dalam agribisnis komoditas tertentu di beberapa daerah antara lain komoditi cabai, jagung, melon, semangka, kentang, dan hortikultura lainnya serta ayam potong dan sapi perah telah memberikan fakta empiris adanya semangat dan praktek privatisasi penyuluhan. Implementasi privatisasi dalam arti khusus untuk penyuluhan pertanian di Indonesia nampaknya memiliki prospek yang cukup baik di masa-masa mendatang.

Privatisasi penyuluhan memungkinkan iklim kompetisi yang sehat dalam pelayanan penyuluhan pertanian antara sektor public dan private. Keunggulan penyuluhan private yang umumnya berorientasi profit antara lain penggunaan media dan teknik penyuluhan yang lebih menarik, kemampuan technical assistant yang tinggi. Sebagai ilustrasi sederhana yaitu sekolompok penyuluh private dengan technical advisor-nya datang ke kelompok tani dengan membawa paket video, sampel sarana produksi serta alat peraga yang menarik, menjelaskan tentang inovasi terkini dalam komoditas tertentu mulai dari prospek, teknik produksi serta kendalanya, kemudian dilanjutkan diskusi informal serta kalau memungkinkan ada direct advisory di lahan petani. Setelah itu dilakukan demonstrasi plot yang bisa melibatkan petani sehingga petani bisa mempraktekan dan mengevaluasi prospek komoditi yang ditawarkan. Tidak cukup sampai tahapan tersebut, advisory dan fasilitasi masih dilanjutkan dengan penyediaan sarana produksi serta penjualan produk petani yang dalam beberapa kasus sudah diformalkan dalam kontrak untuk periode tertentu. Sulaiman dan Suresh (2005) mendasarkan temuannya tentang implementasi privatisasi penyuluhan pertanian di India, melaporkan bahwa salah satu keunggulan penyuluhan sektor private adalah penyediaan akses pada dua sisi yaitu pasar input dan output yang dikombinasikan dengan bimbingan dan konsultasi yang tepat waktu.

Beberapa keunggulan penyuluhan sektor private tersebut juga menjadi pelajaran berharga bagi sektor public untuk terus meningkatkan kapasitas staf lapangannya sehingga tetap mampu menjadi alternatif yang dipilih petani untuk memberikan layanan penyuluhan. Bagaimanapun juga dengan mempertimbngkan berbagai hal, nampaknya penyuluh sektor public tetap memainkan peran yang penting dan strategis. Dengan mempertimbangkan tingkat profitabilitas dan harga produk komoditas pertanian, pada komoditas yang memiliki profitabilitas tinggi ada kecenderungan dapat dilayani oleh penyuluh dari sektor private karena client dimungkinkan menanggung sebagian dan atau seluruh biaya layanan penyuluhan, namun untuk komoditas dengan profitabilitas rendah seperti padi dan ketela dengan luas pengusahaan yang rata-rata kecil tetap perlu mendapat layanan penyuluhan dari sektor public yang free of charge.

Implikasi strategis privatisasi penyuluhan pertanian dalam pembuatan kebijakan adalah menciptakan iklim kondusif agar tercipta suatu situasi dimana sektor public menjadi pemeran utama dan memiliki fokus untuk bertanggungjawab sebagai suatu agen pengkoordinasi. Rivera (1997) memberikan rekomendasi tentang implikasi privatisasi penyuluhan pertanian yang mungkin juga dapat diterapkan di Indonesia yaitu: (1) public sector dapat mengidentifikasi dan memberikan layanan pada audience yang tidak dapat terlayani oleh sektor private, (2) mengkoordinasikan berbagai penyedia layanan penyuluhan pertanian, (3) sebagai acuan akhir atau penengah pada conflicting information, (4) menjamin akuntabilitas baik layanan yang diberikan oleh public maupun sektor private, dan (5) memfasilitasi operasi yang komplek melalui pengaturan dan penyediaan informasi.

Isu privatisasi, desentralisasi dan demokratisasi dengan pemaknaan yang khas pada penyuluhan pertanian nampaknya juga menjadi salah satu materi penting yang telah diangkat dalam bahasan Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Tahun 2006. Substansi pembahasan pembagian peran yang serasi dalam berbagai hal seperti kelembagaan, materi, sistem deliveri, pendanaan masih perlu diperasionalkan secara rinci.

Tantangan Masa Depan Penyuluhan Pertanian

Strategi penyuluhan pertanian modern di Indonesia nampaknya perlu diorientasikan pada penerapan ”segmented client oriented opproach”. Perlu dilakukan perubahan mindset dari birokrasi pusat dan lokal, hal ini seharusnya juga perlu terus didodong sehingga mereka menjadi lebih pro terhadap kebijakan penyuluhan pertanian. Program yang perlu dikembangkan antara lain pendidikan dan advokasi tentang arti penting penyuluhan dalam pembangunan pertanian dan kesejahteraan masyarakat baik terhadap birokrat, politisi serta legislatif yang memiliki otoritas kuat dalam membuat kebijakan terakit dengan penyuluhan pertanian.

Layanan jasa penyuluhan pertanian seharusnya mampu menunjukkan akan manfaat program kepada pemerintah daerah dengan menunjukan dampak positif yang akan diperoleh dengan adanya aktivitas penyuluhan Untuk mendukung hal tersebut serta dalam rangka mensikapi tuntutan global, para petani seharusnya juga mulai dididik dalam hal isu-isu yang terkait dengan globalisasi dan liberalisasi perdagangan termasuk didalamnya produk pertanian yang secara cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat petani.

Penyuluhan pertanian bukanlah suatu hal yang bisa ditangai secara mandiri oleh satu pihak namun memerlukan keterkaitan dan kerjasama antar lembaga, bukan hanya peneliti dan penyuluh namun juga antara petugas penyuluh dengan pelaku bisnis pertanian lainnya seperti pelaku pemasaran, transportasi, penyimpanan, lembaga keuangan dan asuransi serta institusi lain yang terkait dengan pembangunan pertanian dan pedesaan.

Harmonisasi pembagian peran layanan penyuluhan dan pendanaan antara sektor publik dan private akan menjadi tema strategis dalam layanan dan pendanaan penyuluhan pertanian di masa mendatang. Privatisasi penyuluhan pertanian yang dimaknai sebagai pembagian peran yang serasi juga merupakan wahana demokratisasi karena membuka peluang partisipasi aktif dari stakeholders terkait untuk berkontribusi dalam proses penyuluhan pertanian. Monopoli sepihak dalam penyuluhan pertanian bisa dihindari, namun justru memunculkan iklim kompetisi sehat yang memungkinkan client untuk bisa memilih alternatif yang terbaik yang mampu menyediakan kebutuhan akan layanan penyuluhan pertanian. Meskipun penyuluhan private akan semakin menguat karena efektifitas dan efeisiensinya, namun bagaimanapun juga penyuluhan publik tetap penting sebagai penyedia public goods. Nampaknya perlu segmentasi layanan, untuk komoditas yang melibatkan orang banyak dengan profitabilitas dan harga produk rendah tetap menjadi tanggungjawab sektor public yang memungkinkan client mendapat layanan tanpa dipungut biaya. Penyuluh public juga dapat berfungsi sebagai mediator dan koordinator penyuluhan.

Pustaka

Akhmadi, Nuning, 2004, Pelaksanaan Otonomi Daerah, SMERU Newsletter, Desember 2004, (www.smeru.or.id/newslet/2004/ed12/2004/200412spotlight.html).

Kidd, A.D.et.al. 2000. Privatising Agricultural Extension: Caveat Emptor dalam Journal of Rural Studies No.16 (2000) 95-102. Pergamon Press.

Mawardi, Sulton, 2004, Persoalan Penyuluhan di Era Otonomi Daerah, SMERU Newsletter, Desember 2004, www.smeru.or.id/newslet/2004/ed12/200412field3.html

Rivera, W.M and Cary, J.W. Privatizing Agricultural Extension dalam Burton et.al. (ed). 1997. Improving Agricultural Extension: A Reference Manual. FAO.

Saragih, Bungaran, 2005, Agricultural Development Aims to Beat Poverty, Jakarta Post. Com. (www.thejakartapost.com/agrib21_1.asp).

Subejo, 2002, Penyuluhan Pertanian Indonesia: Isu Privatisasi dan Implikasinya, Jurnal Agro Ekonomi Vol.9 No.2, Desember 2002, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian UGM.

Sulaiman, R dan Suresh N, 2005, Effectiveness of Private Sector Extension in India and Lessons for The New Extension Policy Agenda, AgREN Paper No.141, Januari 2005.

The World Bank. 2002. World Bank Development Report 2002:Building Institutions for Market. Oxford University Press.

www.wikidepdia.org (the meaning of democratization, decentralization, and social engineering)



[1] Sebagian isi makalah telah disampaikan pada Seminar Regional PERHIPTANI Kabupaten Sleman Propinsi Yogyakarta pada tanggal 22 November 2006 dalam rangka memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun 2006

[2] Staf pengajar Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian UGM, anggota Agricultural Research and Extension Network (AgREN)-UK, (email address: Subejo@Lycos.com)

[3] Social engineering is about attempts to influence popular behavior. For social engineering as it applies to manipulation of individuals. Social engineering is a concept in political science that refers to efforts to influence popular attitudes and social behavior on a large scale, whether by governments or private groups. In the political arena the counterpart of Social engineering is: Political engineering. For various reasons, the term has been imbued with negative connotations (www.wikipedia.org).

[4] Diskusi tentang isu privatisasi penyuluhan pertanian di Indonesia serta implikasinya secara lebih detail dapat dilihat dalam artikel Subejo pada Jurnal Agro Ekonomi Vol. 9 No. 2, Desember 2002

Tidak ada komentar: