Jumat, 08 Februari 2008

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

ORANG SUNDA DI JAWA BARAT


Sistem kekerabatan dan perkawinan orang sunda dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun temurun oleh agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda. Biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang Sunda. Perkawinan ditanah Sunda misalnya dilakukan baik secara adat maupun secara agama islam. Ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan, maka tampak sekali bahwa didalam upacara-upacara yang terpenting ini terdapat unsur agama.

Dalam hubungannya dengan sistem perkawinan itu, tiap bangsa mempunyai anggapannya masing-masing mengenai umur yang paling baik untuk dikawinkan. Di beberapa Desa di sekitar Bandung, diperoleh data bahwa dari 360 responden ada 287 yang menyatakan bahwa umur yang baik untuk menikah yaitu antara 16 sampai 20. Sistem pemilihan jodoh di Jawa Barat tidak terikat suatu sistem tertentu. Hanya yang pasti perkawinan didalam keluarga batih dilarang, dan apabila kita hendak mengetahui darimanakah sebaiknya diambil jodoh, dari luar atau dari kalangan sendiri.

Sebelum menentukan seseorang itu untuk diambil menjadi calon menantu, terlebih dahulu diadakan penyelidikan dari kedua belah pihak, penyelidikan itu biasanya dilakukan secara serapih mungkin dan secara tertutup. Diusahakan agar dapat menantu yang baik.

Menantu yang baik disini tentunya mempunyai arti yang relatif. Untuk mengetahui mana yang baik, maka kita perlu mengetahui sistem-sistem nilai budaya yang berlaku di daerah itu. Di daerah pedesaan yang kuat kehidupan agamanya, maka faktor orientasi agama memainkan peranan yang penting. Pada umumnya di daerah pedalaman telah dikenal pula moralitas perkawinan yang dapat dilihat dari bahasa dan pepatah dalam bahasa itu. Di Pasundan dikatakan misalnya : “Lamun nyiar jodo kudu kakupuna” artinya kalau mencari jodoh harus kepada orang yang sesuai dalam segalanya, baik dari segi rupa, kekayaan, maupun keturunannya. Atau “Lamun nyiar jodo kudu kanu sawaja sabeusi”, artinya mencari jodoh itu harus mencari yang sesuai dan cocok dalam segala hal.

Adapun caranya mencari menantu itu, dilakukan oleh pihak laki-laki maupun perempuan. Caranya mula-mula tidak serius, sambil bergurau antara orang tua kedua belah pihak, tempat pembicaraannya juga tidak ditetapkan, dimana saja.

Apabila anak gadis itu belum bertunngan dan juga orang tuanya setuju atas yang diusulkan oleh pemuda tersebut, maka perembukan itu dinamakan “NEUNDEUN OMONG”, artinya menaruh perkataan. Antara neundeun omong sampai “NYEUREUHAN” atau melamar, terjadilah saling amat-mengamati atau sidik-menyelidiki secara baik-baik. Sekiranya terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan Pinangan.

Pinangan inipun dilakukan dengan tata cara yang khusus. Setelah dilakukan pelamaran, maka diadakan persiapan untuk melakukan acara pernikahan. Setelah tersedia persiapan itu, maka orang tua laki-laki mengirimkan kabar kepada orang tua gadis hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan “SESERAHAN”. Anak laki-laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki itu dikerjakan tiga hari sebelum diadakan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki diserahkan pada prinsipnya segala sesuatu telah menjadi tanggungjawab orang tua perempuan.

Pada upacara pernikahannya sendiri, dilakukan secara sederhana secara agama. Tetapi upacara “NYAWER dan BUKA PINTU” tetap ada dan merupakan yang paling menarik. Semua orang gembira dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dengan penuh perhatian dan mengikuti dialog yang dilakukan dengan bahasa puisi dan lagu.

Dalam hal kekerabatan di tanah Sunda yang terpenting adalah keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami, isteri dan anak-anak yang diadapat dari perkawinan atau adopsi yang belum kawin. Adat sesudah nikah di daerah Jawa Barat pada prinsipnya adalah Neolokal. Hubungan sosial antara keluarga batih amat erat. Keluarga batih merupakan tempat yang paling aman bagi anggotanya ditengah hubungan kerabat yang lebih besar dan ditengah masyarakat. Didalam rumah tangga keluarga batih itu, sering juga terdapat anggota keluarga lain, seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau perempuan. Dalam keadaan kekurangan perumahan, maka dalam satu rumah tangga sering terdapat lebih dari satu buah keluarga batih.

Pada umumnya dikatakan bahwa kehidupan keluarga batih di desa-desa masih relatif kompak. Pekerjaan di sawah-sawah masih dilakukan secara bersama-sama dengan pembagian kerja yang ada.

Pada lapisan yang lebih tinggi pada masyarakat Sunda, warga dari satu golongan biasanya terpencar, diberbagai kota dan daerah. Demikian golongan itu merupakan suatu kelompok kekerabatan yang dalam ilmu antropologi secara teknis disebut “Kindred”.

Dalam masyarakat Sunda adapula kelompok yang berupa “Ambilineal”, karena mencakup kerabat seputar keluarga batih seorang ego. Tetapi diorientasikan kearah nenek moyang yang jauh didalam masa yang lampau. Kelompok ini disebut “BONDOROYOT”. Kesadaran akan kesatuan bondoroyot sering diintensifkan dengan beberapa adat pantangan yang wajib dilakukan oleh warga dari suatu bondoroyot.

1. Prinsip-prinsip keturunan

Prinsip keturunan adalah cara untuk menarik garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat tertentu, begitu pula dengan masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda menganut garis keturunan secara bilateral yaitu dari kedua belah pihaknya baik dari garis laki-laki maupun dari garis perempuan. Antara kerabat si ayah dan si ibu itu derajatnya sama dalam keluarga. Namun ada juga perbedaannya yaitu kerabat jauh dan kerabat dekat.

2. Sistem kekerabatan

Dalam sistem kekerabatan ada nama-nama angkatan dalam arti hubungan kekerabatan, dalam hal ini orang Sunda mengenal 7 istilah kekerabatan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Keatas

Kebawah

1. Kolot

2. Embah (Aki dan Nini)

3. Buyut

4. Bao

5. Janggawareng

6. Udeg-udeg

7. Kakait Siwur

1. Anak

2. Incu

3. Buyut

4. Bao

5. Janggawareng

6. Udeg-udeg

7. Kakait Siwur

3. Adat perkawinan

Perkawinan adalah suatu kegiatan daur hidup yang bersifat universal, dalam perkawinan itu terdapat proses perubahan status seseorang baik itu status sosial maupun yang berhubungan dengan kehidupan religius. Dalam masyarakat sunda terdapat 5 kegiatan yang bertalian dengan perkawinan, yaitu :

a. Meminang

Dilakukan oleh orang tua laki-laki kepada orang tua perempuan. Dalam prinsipnya bahwa laki-lakilah yang mempunyai inisiatif. Acara meminang ini dimulai dengan kunjungan orang tua laki-laki untuk menanyakan apakah si perempuan belum ada yang punya, jika memang belum mereka memperoleh kesepakatan untuk menjodohkannya.

b. Seserahan

Biasanya dilakukan 2 – 3 hari sebelum upacara pernikahan. Yaitu prosesi penyerahan laki-laki kepada keluarga perempuan, dalam seserahan ini dirundingkan bersama agar keduanya dinilai telah siap. Pada saat seserahan pihak keluarga laki-laki membawakan barang-barang ebagai perlengkapan upacara pernikahan.

c. Ngeuyeuk Seureuh

Dilakukan sehari sebelum pernikahan, tradisi ini digunakan sebagai simbol suapaya mereka siap menjalani kehidupan rumah tangga yang diriodhoi dan diberi ketentraman oleh Tuhan YME.

d. Pernikahan

Dalam adat pernikahan Sunda, pengantin keduanya didandani seperti biasanya pengantin-pengantin dari daerah lain. Namun tentunya berbeda dalam hal pakaian adat. Cara pelaksanaan biasanya diatur oleh lembaga keagamaan setempat dengan memadukan ketentuan pernikahan didalam agamanya masing-masing. Tradisi setelah upacara resmi pengantin disawer, yaitu pengantin berdampingan dinaungi payung sambil dinyanyikan lagu atau kawih yang berisikan nasehat, sambil ditaburi beras, kunir, serta uang logam yang akan diperebutkan oleh anak-anak kecil. Stelah itu ada adat upacara buka pintu yang melambangkan bahwa si perempuan akan menyambut suaminya.

Setelah itu ada tradisi “HUAP LINGKUP” atau saling menyuapi dan saling berebut ayam panggang sebagai lambang bahwa mereka akan saling bekerjasama dan menjadi teman hidup dalam mengarungi rumah tangga.

e. Adat Setelah Menikah

Setelah menikah biasanya kedua pengantin itu bertempat tinggal di orang tua pihak wanita (Uxorilokal) namun sifatnya sementara. Setelah itu mereka memilih tempat tinggal sendiri untuk membangun suatu keluarga batih. Tentu saja suatu keharusan bagi laki-laki yang telah berani menikah maka ia harus siap mempersiapkan rumah serta keperluan rumah tangga lainnya. Walaupuin pada kenyataannya banyak dianatara mereka yang masih tinggal bersama orang tua meskipun telah berkeluarga. Padahal laki-laki sebagai kodratnya adalah menjadi seorang kepala keluarga dan bertanggungjawab terhadap segala sesuatu didalam keluarga baik itu didalam hal ekonomi dan yang lainnya.

Setelah terjadi proses pernikahan maka terwujudlah suatu perluassan keluarga yaitu munculnya keluarga batih yang baru sebagai salah satu bentuk dan wujud kelompok kekerabatan.

SUMBER

Bapak Rusmana Kartasasmita, Tokoh Masyarakat Desa Sukaratu Tasikmalaya Jawa Barat

Tidak ada komentar: