Jumat, 08 Februari 2008

SENDIRI

SENDIRI

Menangis aku tertunduk di pojok kursi ruang tunggu rumah sakit, betapa tidak aku beserta ibuku harus menyediakan uang sebanyak tiga juta dalam tiga hari ini guna untuk menebus uang muka operasi bapakku yang sekarang lagi terbaring lesu di bangsal rumah sakit karena penyakitnya. Mungkin uang segitu sangat mudah dicari oleh pejabat-pejabat di sana, uang segitu sangat gampang dihasilkan oleh anggota-anggota dewan di parlemen sana, tapi bagi aku dan ibuku yang hanya keluarga petani miskin ini, untuk memperoleh uang yang segitu banyak harus mondar mandir ketempat peminjaman dan tempat itu memerlukan jaminan, tapi apa yang bisa kami jaminkan, gubuk reyot kami” ah nggak mungkin, sawah warisan yang luasnya hanya 1000 m persegi ah itu juga tak cukup lagian kami tak punya surat menyuratnya karena itu tanah warisan kakek, cangkul dan sabit itu juga tak bearti dijual juga palingan buat cukup beli beras satu kilo aja.

Kulihat basah mata ibu oleh air matanya, sambil berkata “ Nak mungkin sebentar lagi kita akan hidup berdua, kita tak punya uang untuk operasi bapakmu”, aku tak sanggup menatap ibuku, aku hanya tertunduk terdiam dan langsung lari ke kamarku, kamarku yang hanya bersekat gedek, beratap rumbia dan berlantaikan tanah, di dalam kamar aku menangis serta membanyangkan betapa susahnya kehidupan keluargaku mulai dari kakek sampai sekarang tak pernah tenang dan bahagia oleh materi tapi untunglah bapak selalu mengajarkanku untuk tetap tabah dan selalu berada di jalan Tuhan.

Selain bertani bapakku juga dulu sebagai buruh tani dengan bekerja di sawah-sawah orang lain tapi sekarang dengan adanya teknologi yang canggih membuat tenaga ayahku tersingkir oleh mesin-mesin luar tersebut dan juga banyak berubahnya fungsi lahan-lahan pertanian menjadi komplek-komplek perumahan dan industri membuat semakin sedikitnya orang yang memanfaatkan tenaga bapakku dan itu membuat kehidupan kami yang tadinya miskin menjadi lebih miskin lagi.

Seringnya kegagalan dalam panen membuat kehidupan kami semakin menderita, tidaknya adanya bantuan pemerintah juga berperan memperburuk keadaan ekonomi kami, jangankan memberikan dana memberikan bantuan lewat informasI saja pemerintah tak pernah walaupun di tempat kami ada seorang penyuluh pertanian tetapi dia tidak pernah menjalankan kewajibannya, dia datang sewaktu-waktu saja ketika ada proyek apa itu nggak jahat ?miskinnya keluarga tani ini tidak hanya dialami oleh keluarga kami saja tetapi hampir semua petani kecil di desa kami atau bahkan seluruh Indonesia, keluarga kami harus beruasaha sendiri dalam memperoleh benih, pupuk dan obatan yang harganya tidak sebanding dengan hasil yang kami dapatkan.

“ Sudahlah nak, mungkin ini jalan kita, kita harus berusaha sendiri dalam kehidupan ini, siapa yang mau membantu petani miskin seperti bapak, yang penting bapak sudah menjaga amanah kakekmu untuk terus bertani, biarlah orang-orang tak menghargai jasa bapak sebagai petani teladan, sebagai petani terbaik karena itu semua tak penting, yang penting sekarang kamu jaga sawah kita jangan kau jual berapapun harganya dan jangan kau tukar walaupun intan berlian yang jadi tebusannya, kerjaan petani itu suci jauh dari dosa, sekarang berusalah terus untuk menghasilkan sebutir nasi ..sebutir nasi nak…aku menangis karena denyut nadi di tangan bapakku kurasakan sudah hilang….

Aku tertunduk dan menyesal di batu nisan ini, menyesal karena tak tahu harus berbuat apa ketika bapakku terbaring lemah dan aku tak tahu siapa yang harus disalahkan dalam kejadian ini,,,terbayang dibenakku untuk menyalahkan pemerintah, pejabat, penyuluh, atau wakil rakyat di sana,,,ah tak mungkin, tapi yang penting sekarang aku harus menjaga amanah bapakku, biarlah kujaga sawahku dan semangatku untuk menghasilkan sebutir padi…..sebutir nasi….

By,,putra

Tidak ada komentar: